Laman

Selasa, 31 Juli 2007

Keretaku



Semburat jingga sinar matahari sore yang biasanya menyeruak di sela awan kali ini bersembunyi. Sejak seminggu lalu langit di atas Bogor kembali mengirim guyuran hujan yang mengakhiri episode kemarau panjang di kota sejuk ini. Gesekan air sungai Cisadane dengan batu-batu kali sudah mulai bergemericik, ditingkahi tarian ikan-ikan kecil yang sesekali melompat riang ke atas batu. Tak jauh dari situ, terdengar dahan-dahan pohon mahoni berderik diiringi suara halus dedaunan yang melambai ditiup angin.

Di bibir kota, pada sebuah stasiun kereta api --- begitu orang menyebutnya, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah trem[1], kereta yang ditarik dengan tenaga listrik --- tampak rel-rel yang semakin aus membelah ke utara hingga stasiun Kota, Jakarta. Stasiun Bogor sendiri sesungguhnya adalah bangunan tua. Di sana-sini masih tampak jejak-jejak arsitektur peninggalan Belanda. Beberapa bagian bangunan eksotis itu tampak lapuk dimakan usia, meskipun telah berkali-kali mengalami renovasi. Beberapa kelompok lumut kembali menghiasi dinding-dindingnya yang bercat hijau kusam.
Beberapa puluh meter sebelum mencapai bangunan utama stasiun, deretan lapak dan pedagang kaki lima memenuhi sisi jalan hingga ke stasiun. Andai saja di pintu masuk stasiun tidak tertera keterangan nama stasiun, rasanya sulit dibedakan antara stasiun ini dengan pasar. Arus penumpang yang demikian banyak mengundang para pedagang berebutan menempati posisi paling strategis. Namun sayang kegiatan itu sekaligus membentuk ketidaknyamanan lalu lintas.
Di depan pintu stasiun, mobil-mobil angkutan kota berbaris tak beraturan berebut penumpang. Bila kereta tiba, biasanya orang-orang berhamburan keluar dari pintu stasiun. Saat-saat seperti inilah yang paling ditunggu. Tak henti-hentinya sopir meneriakkan jalur trayek dan tujuan perjalanan. Berbeda dengan bus kota, angkutan kota berkapasitas lima belas penumpang ini tanpa kenek. Wajar saja sopir bekerja merangkap sebagai kenek dan kasir.
Stasiun kereta Bogor selalu ramai. Puncak kepadatannya di waktu pagi di awal jam kerja dan sore hari ketika para pekerja kembali ke rumah masing-masing. Jarak dan waktu tempuh antara Bogor dengan Jakarta yang cukup signifikan jauhnya, membuat para pekerja lebih memilih trem sebagai moda transportasi yang paling menarik dan masuk akal. Maka tidak mengherankan jika setiap hari arus migrasi melalui stasiun Bogor menjadi sangat dinamis. Kaum urban ini tampaknya kebanyakan pekerja kelas menengah ke bawah dan sebagian mungkin pegawai negeri. Mereka menjadikan Jakarta sebagai pusat mencari nafkah dan memilih Bogor dan sekitarnya sebagai tempat tinggal. Mereka sengaja bermukim di daerah ini untuk menghindari kepadatan Jakarta yang kian hari semakin sumpek.
Trem yang silih berganti menapaki rel-rel tua terdiri dari dua kelas, ekonomi dan eksekutif. Tidak sulit merasakan distorsi antara keduanya hanya dengan melihat gerbong-gerbongnya. Kereta eksekutif, biasa disebut kereta Pakuan AC. Rasanya tidak berlebihan diberi nama seperti itu karena memang kereta ini dilengkapi fasilitas Air Conditioner (AC) dengan gerbong masih tampak baru dan terawat. Pintunya dapat terbuka tutup dengan penggerak listrik. Kemewahan lain juga terlihat dari fasilitas tempat duduk empuk dan nyaman. Penumpang yang ingin memperoleh tempat duduk harus membeli tiket lebih awal. Selain informasi tujuan keberangkatan, pada tiket itu tertempel sit number[2]. Dalam kondisi padat, penumpang yang tidak mendapat tempat duduk, tidak segan-segan merapat di lantai. Hal ini dikarenakan lantai gerbong cukup bersih. Sampah di gerbong ini termasuk barang langka. Beberapa penumpang lebih kreatif membawa kursi lipat sendiri. Bentuknya kecil serta terbuat dari logam dan kain. Sementara penumpang yang lebih senang berdiri dapat bergelantungan pada ring kecil yang kokoh tertempel pada balok-balok besi di depan rak bagasi. Ring tersebut cukup banyak tersedia pada setiap gerbong.

Hampir semua informasi di dalam gerbong tertulis dalam ejaan Katakana bahasa Jepang. Sejatinya kereta ini memang adalah produk import dari negeri matahari terbit itu[3]. Pada salah satu sudut dari setiap gerbong terdapat petunjuk tempat duduk yang diperuntukkan bagi orang yang sudah uzur, orang cacat dan perempuan terutama ibu hamil. Masalahnya, kereta ini di operasikan di Indonesia. Fasilitas bagi kaum ‘lemah’ itu sepertinya tidak begitu berlaku, apalagi jika volume penumpang sangat padat. Entah mengapa tingkat kepatuhan orang Indonesia terhadap peraturan relatif masih rendah.
Sebaliknya tampak pada kereta ekonomi. Kereta ini senantiasa berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di setiap stasiun sepanjang Bogor dan Jakarta. Kebanyakan asal kereta ini tidak berbeda dengan kelas eksekutif. Namun gerbong kereta ini biasanya tidak berpintu, sementara jendelanya kadang bisa ditutup dan lebih banyak tidak. Bahkan sebagian besar gerbong tidak memiliki penutup jendela sama sekali. Sungguh jauh dari kesan baru. Penumpang kereta ekonomi selalu paling banyak. Mereka bertelekan pada tiang dan rak-rak barang dari logam berwarna keperakan. Bahkan pada puncak kepadatan penumpang, gerbong berkapasitas kurang lebih delapan puluh orang itu bisa terisi dua kali lipatnya. Dari luar tampak penumpang bergelayutan di pintu seolah hendak tumpah ke jalan. Sementara penumpang di dalam sulit menempatkan posisi kaki dengan kuda-kuda yang baik untuk berdiri. Tubuh penumpang menjadi oleng kesana-kemari. Saling mendorong dari berbagai arah membuat seseorang harus menahan berat badan orang lain. Ini biasa terjadi ketika beberapa penumpang harus turun di suatu stasiun atau kereta direm mendadak. Penumpang yang sudah terbiasa, akan bergeser perlahan-lahan mendekati pintu jika ia mau turun di stasiun tertentu. Bayangkan jika kereta hanya berhenti di setiap stasiun tidak kurang dari setengah menit. Bila terlambat, penumpang harus meneruskan perjalanan menggunakan angkutan umum jenis lainnya. Atau turun di stasiun berikutnya menunggu kereta balik.
Lalu tak salah lagi, padatnya penumpang membuat hawa di dalam gerbong semakin panas. Dipastikan keringat mereka mengucur deras bercampur baur dan mengeluarkan bau tak karuan. Benar-benar produk kereta paling ekonomis. Hebatnya lagi, rasanya belum pernah dijumpai seseorang menutup hidung ketika mencium bau paling menyengat dari badan penumpang lain.
Sekelompok anak muda --- bahkan beberapa diantaranya anak-anak berusia tanggung --- menyenangi resiko dengan menumpang di atas atap, sekalipun gerbong relatif kosong. Mereka tidak peduli dengan peringatan-peringatan petugas. Pemasangan besi tajam di atap gerbong serta pagar penghalang di beberapa peron, rupanya tak berarti apa-apa bagi mereka. Bahkan mereka sungguh tidak peduli dengan bahaya didepan mata. Jatuh ketika kereta berlari kencang, atau tersengat kabel listrik 5000 volt yang terletak hanya beberapa senti di atas kepala mereka.Inilah bentuk lain dari apresiasi terhadap heroisme bangsa pejuang. Jika dugaan ini keliru, dipastikan inilah bentuk ekspresi paling konyol sebuah bangsa kepala batu. Yaitu bangsa yang tidak mau belajar dan menangguk hikmah dari pengalaman.
Seperti halnya bus kota, kereta ekonomi identik dengan pencopet. Setidaknya itu anggapan umum bagi pengguna jasa angkutan massal ini. Bisa diduga para penjahat kecil itu lebih senang memanfaatkan kepadatan, kegaduhan dan kelengahan penumpang dalam beroperasi. Maka tidak heran jika kewaspadaan terhadap hal ini menciptakan keunikan tersendiri dalam perilaku perpakaian penumpang. Ransel (back pack) yang seharusnya di pasang di punggung, kini malah ke depan membuat pemakainya tampak seperti ibu hamil.
Hal yang sedikit mahal ketika menumpang kereta ekonomi, adalah memperoleh tempat duduk. Mungkin ini yang terlintas pertama kali di setiap benak penumpang ketika mulai menjejakkan kakinya ke dalam gerbong. Jika beruntung, mereka bisa mendapatkannya, pada saat gerbong kosong atau ketika seseorang meninggalkan tempat duduknya. Itupun kadang harus berlomba dengan penumpang lain yang sedari tadi mengincar tempat duduk fiber itu.
Disela kantuk yang biasa menggerogoti, sesekali penumpang cukup terhibur dengan kehadiran sekelompok remaja pengamen. Mereka tampil teratur dengan tugas masing-masing. Sebagai pendahuluan salah seorang dengan fasih memulai ucapan salam atau pengantar alakadarnya yang sudah dihapalkan. Melalui alat musik standard meski sederhana, mereka sepertinya cukup terampil dengan lagu-lagu hits yang mereka tampilkan. Mereka bermain kompak. Suara indah tetap keluar dari dawai gitar tua penuh stiker. Kadang beberapa kelompok pengamen membawa peralatan sebagaimana layaknya band profesional. Selain, bass, guitar listrik, biola, drum sederhana yang biasa disebut tom-tam, mereka juga membawa speaker besar yang tentu saja berat. Sebagian besar peralatan itu menggunakan tenaga battere. Rupanya mereka berusaha menyodorkan sistem akustik yang memadai sehingga menghasilkan penampilan yang tentu lebih heboh untuk kelas kereta.
Selain pemain musik dan vokalis, seorang diantara mereka juga ditugaskan mengoleksi sumbangan penumpang menggunakan kantong bekas makanan instan. Namun entah bagaimana perasaan penumpang, bila pengamen lain tampil solo sambil membawa alat sangat sederhana seperti botol plastik diisi pasir atau kerikil kecil yang digerak-gerakkan, sehingga menimbulkan bunyi monoton. Belum lagi bila ”musik” itu mengiringi suara sumbangnya. Kali lain seorang ibu-ibu muda tiba-tiba bernyanyi sambil menggendong balita. Sulit diterka apakah orang-orang seperti ini sedang mengamen atau mengemis. Positifnya, anggap saja mereka sedang bekerja dan layak dihargai.
Kereta ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan pedagang asongan. Mereka membawa dagangan dengan cara berbeda-beda. Pedagang yang menjual korek gas, gunting kuku, peniti, pulpen bahkan kancing dan benda-benda kecil lainnya lebih senang menggantungnya di leher. Sedangkan penjual minuman membawa ember diisi es untuk mempertahankan kesegarannya. Penjual makanan dan sebagian minuman lebih senang membawa gerobak sederhana, atau lebih tepatnya rak yang dipasangi roda kecil. Semuanya gigih meneriakkan kalimat-kalimat penggugah dari gerbong ke gerbong. Anehnya, pedagang ini bisa dengan lincah mendorong gerobaknya disela penumpang, sepadat apa pun.
Semua hingar-bingar di gerbong kereta ekonomi menjadi penanda paling signifikan atas perbedaan dengan kereta eksekutif yang ”sepi” dalam keramaian penumpangnya. Namun yang sama dari kedua kelas kereta ini, selain kegaduhan berirama yang ditimbulkan oleh gesekan roda kereta dengan rel, mungkin etika penumpangnya. Tata krama atas nama logika tua-muda, nenek-remaja, lelaki-perempuan, tidak sepenuhnya berlaku di sini. Penumpang perempuan, jangan berharap dipersilahkan duduk oleh seorang lelaki yang duduk di depannya.

[1] Sejak kemunculan trem di Jakarta yang sejak dulu dikenal bernama Batavia, konon awalnya ditarik oleh kuda. Namun akhirnya diganti dengan mesin oleh pemerintah Belanda karena menyisakan kotoran-kotoran kuda di sepanjang jalan.

[2] Seseorang yang terlambat naik namun mendapat sit number (nomor tempat duduk) logikanya bisa menyuruh orang lain meninggalkan tempat duduknya sekalipun dia adalah ibu-ibu atau nenek-nenek tua. Kejadian-kejadian menyangkut hal ini biasa terjadi. Hal ini sulit dipahami bagi orang-orang yang masih memegang teguh adat ketimuran.

[3] Di Jepang, kereta jenis ini adalah yang paling tertinggal, bahkan bisa dikatakan barang sisa export atau kereta ”buangan”

Senin, 30 Juli 2007

Nyebrang? Hati-Hati Bro !!!


Photo di samping merupakan typical stasiun trem (umumnya disebut kereta api oleh pengguna) di Pondok Cina, Depok khususnya dan hampir seluruh stasiun di sepanjang Bogor hingga stasiun Kota. Stasiun ini secara strategis menjadi salah satu wahana transportasi murah bagi anak-anak Universitas Indonesia. Bisa di pahami, selain Stasiun UI, stasiun ini termasuk paling sibuk di dekat Kampus. Keberadaan stasiun ini dirasakan sungguh bermanfaat bagi kalangan kampus, oleh karena dapat meminimalisir kemacetan, dan waktu tempuhnya pun dapat diprediksi. Taruhlah, bila anda start dari stasiun ini menuju Stasiun Kota, waktu tempuh diperkirakan 45 menit hingga satu jam. Bandingkan bila menumpang bis kota, anda bisa 2 jam lebih bergelayutan di tengah kemacetan Jakarta.
Selain mahasiswa yang kost di sekitar kampus, masyarakat umum --- sebelum UI relokasi ke Depok --- sebetulnya sejak dulu telah menggunakan moda transportasi massal ini. Kereta memang telah menjadi favorite.
Seperti kebanyakan stasiun kereta sepanjang Jabodetabek, wajah stasiun kita ... ya ... seperti ini. Jangan membayangkan kemudahan dan kenyamanan seperti stasiun kereta bawah tanah di Eropa. :-) Meski beberapa perbaikan telah dilakukan oleh pengelola, penampilan, dan terutama penambahan fungsi pelayanan tidak berubah. .... Sebetulnya bagi masyarakat pengguna, standar pelayanan yang ada mudah diterima. Dalam urusan "kenyamanan" dan "keamanan" versi kereta, bagi masyarakat "itu sudah biasa". Emang mau gimana ... adanya gitu. (Simak artikel lain: Keretaku). ........
Wajah stasiun UI seperti gambar, menampilkan salah satu wajah Mahasiswa UI: "Pemberani". Yaaaaa .... berani menantang maut kali ya. Sudah tahu keretanya melaju, masih juga berani menyeberang, sementara petugas terbengong-bengong memperhatikan mereka. Bisa jadi mereka lagi dikejar deadline tugas kampus :-)
Berbahaya? tentu saja .... semoga photo ini menjadi perhatian pihak-pihak terkait untuk menyediakan solusi penyeberangan rel yang aman. Sebetulnya, ketika --- beberapa saat sebelum --- kereta memasuki stasiun, tersedia warning bell. Namun ini yang membingungkan. Warning bell termasuk paling sering dilanggar, ..... mereka seolah-olah mengatakan "yuk berlomba dengan kereta" (awm)