Laman

Selasa, 18 Maret 2014

Bagaimana Menurut Anda ?

Font "Surakarta" ini tampak sangat asli Indonesia. Tapi dibuat oleh type designer Philadelphia (Martin L. Parker) ... terbit di myfonts 7 Maret 2014.
Positifnya, dunia global membuat desainer bisa mengambil inspirasi dari mana saja.---Saya sendiri sedang menyempurnakan font bergenre seperti ini (kebetulan inspirasinya juga dari hanacaraka) namun belum dipublikasi.--- Ini tantangan kepada desainer lokal untuk mengeksplorasi budaya sendiri sebagai lumbung inspirasi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kita banyak belajar teori dan prinsip-prinsip desain moderen dari dunia Barat, bahkan terkadang malah mencontoh habis. Kreatifitas desainer memang biasanya datang dari "nyontek" dalam konteks belajar ngedisain.
Semoga saja font "Surakarta" tidak sama dengan kasus Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, dan lainnya. ... Dalam hal ini Martin memang jujur mendeskripsikan sumber inspirasi dari mana. Tetapi itu menjadi bibit dollar buat dia. Bagaimana Menurut Anda? :)

5 komentar:

Erga mengatakan...

halo om salam kenal, saya salah satu fans typeface yang om buat dengan karakter lengkap, detil, profesional.

Kebetulan saya juga lagi belajar buat huruf, makasih udah berbagai ilmu di blog ini. Semoga tetep menginspirasi pemula seperti saya.

Untuk kasus ngambil profit dari budaya asing yang dipake bule buat jual huruf sih, menurut saya fair aja.

Sekarang inspirasi datang darimana aja, bebas. Desainer bule yang buat huruf jawa tetep masih ngakui bahwa hurufnya itu ispirasinya dari huruf jawa. Jelas bukan mencuri, mengklaim, dll.

Bicara keuntungannya, duit buat dia dari penjualan lisensi huruf itu, budaya kita juga telah dipelajari orang (desainer huruf bule tersebut).

Kerugiannya, indonesia gak dapet duit dari jual lisensi huruf di myfont itu.

...


studi banding kasus, desainer huruf lokal juga ada yang buat huruf yang ngambil inspirasi dari barat era 1800'an-1900'an. Mengambil tema vintage, classy. Dia sama-sama jual di myfonts, dapet untung dari penjualan lisensi huruf itu.

Padahal budaya barat yang dia jual, bukan budaya jawa. Tapi apa orang barat mikir "enak ya ngambil ide huruf dari kami, terus ngejual lisensi. Terus kami dapet apa? negara kami dapet apa? keutungan buat kami apa?"

sama aja kan?

nah kan sekarang semua desainer huruf sama aja, kalo kata saya.
Tinggal semua mau berani jual huruf sambil tetep ngikuti, hukum yang berlaku, sambil belajar marketing dasar, sistem ekonomi dasar, tipografi, sama tetep terus belajar.

salam supernatural om.

andi aw masry mengatakan...

Hi Erga ... Salam kenal juga.
Tetap semangat buat anda yang ikut menekuni "dunia typeface" yang peminatnya di Indonesia masih sangat sedikit. Rasanya Type designer Indonesia yang aktif menerbitkan font gratis di situs dafont kurang lebih 100-an orang (bahkan mungkin kurang). Bahkan untuk seluruh Asia, jumlah typedesigner berada di bawah angka 500-an. Itu adalah jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan typedesigner Barat yang mencapai puluhan ribu (akumulatif).

***

Saya setuju dengan pendapat Anda. Inspirasi memang bisa datang dari mana saja, seperti saya tulis di blog, bahkan menurut saya "nyontek" bukan "dosa" jika itu dalam konteks belajar. Bukan untuk dipublikasi menjadi karya sendiri, karena itu plagiat namanya. .. Mengapa demikian? ... Karena para designer yang belajar otodidak pada bidang yang sangat sulit mencari gurunya, maka tidak ada pilihan selain melihat "jeroan" dari karya-karya yang sudah jadi. Mempelajari proses dan tekniknya untuk kemudian diterapkan pada hasil daya cipta kita sendiri yang orisinil. Inilah intinya: ORISINALITAS. Jika kita menyadari untuk terjun di dunia desain maka prinsip orisinalitas ini harus menjadi Sila pertama :)
Lantas bagaimana orisinalitas di dunia font? .... Bayangkan, ada puluhan ribu typedesigner di dunia yang sedang "memperebutkan" bentuk-bentuk yang berbeda dan orisinil dari setiap karakter A-Z dan a-z. Dari dulu sampai sekarang bentuk-bentuk keterbacaan A-Z itu tidak pernah berubah. Yang berubah adalah style (gaya), ukuran, feature proses, dan bisa jadi teknik pembuatannya ... Secara spesifik orisinalitasnya bisa ditakar dengan tolok ukur tersebut. Setiap typedesigner menerapkan semua itu dengan cara berbeda yang seharusnya menghasilkan karya yang berbeda pula, meskipun pada akhirnya sekilas karya kita mirip dengan orang lain. ... Saya pun mengalami kejadian seperti itu beberapa kali. Ada beberapa karya yang sudah saya buat yang selama prosesnya "saya tutup mata tutup telinga" dari kemungkinan melihat karya orang lain. Namun setelah jadi, ternyata ada karya orang lain sudah terbit yang hampir mirip dengan apa yang sudah saya buat. Jadi saya urung menerbitkannya sebelum diedit dan didesain ulang. Kemiripan-kemiripan seperti ini sangat sulit dihindari di dunia typedesign... Karena itu dibutuhkan investasi waktu untuk terus berlatih dan mencoba sampai kita menemukan gaya sendiri. :)

Erga mengatakan...

emm, ngerti2 jadi lebih baik jangan membuat karya yang mirip, atau mendekati gitu?


wah harus orisinil mah banyak alternatif glyps yang harus dibuat. Waktu yang berbulan-bulan, gak buat asal tapi harus harmonis

Tapi font ini udah disetujui sama tim my fonts. Masalahnya indonesia gak dapet duit sih. Lagian kalo mau, sih, kita buat yang lebih baik juga lebih lengkap. Niatnya bersaing antar karya, buat modul typeface, penuhi kekurangan huruf dari font ini.

Saya liat lagi, beberapa karakter font ini ada yang maksa, kurang readible. Mungkin gak make sistem modular.

Jadi gak terlihat harmonis.



Saya juga setuju dengan belajar dari font yang sudah jadi. Pelajari teknik, bentuk, ligature, weight, dll. Internet bisa nolong proses itu buat jadi guru yang baik juga pengalaman trial n error.



Wah sedih juga ya, mau jual typeface jadi ehh, ad yang mirip2. Saya setuju tuh, buat menunda publis huruf, tapi dengan penambahan waktu lagi buat redesain huruf lagi. Belajar lagi weightnya.

Apalagi paling nyebelin tuh, kalo liat huruf, tapi berasa aneh liat ketebalanya, karena terkadang. haru ada yang beda ketebalanya. Contohnya sans serif, O dengan Q. Gimana biar ketebalan hurufnya sama.

nah ini pengalaman saya juga.


ya, waktu akan menjawab segalanya. Yang penting tetep semangat berkarya supaya waktu yang ada diisi produktivitas.

Saya juga binggung. sih buat nyari gaya sendiri.

cuman dari pengetahuan saya. kalo riset data, visualnya, juga typography, apalagi pengalaman di bidang desain typeface sih, pasti bakal ada gaya yang indonesia banget. Terus dari gaya itu seindonesia make, nanti desainer luar copycat. Ya kaya gaya flat tahun 2013 booming banget tuh. Banyak juga yang niru. Gak terlalu berharap juga sih om dari booming gaya font yang indonesia banget. espektasinya terlalu tinggi, mending kerja keras aja.

andi aw masry mengatakan...

Setuju ... kita memang harus kerja keras membangun dunia typedesign di Indonesia. Katakanlah, salah satu bahan bakunya adalah seberapa banyak type design yang sudah kita buat ... ya, kita bikin aja. Nanti juga akan ketemu identitas dan bentuknya dimasa yang akan datang. :)

+++

Sebetulnya font yang mirip sangat sulit dihindari karena berbagai alasan logis (Ini berbeda plagiarisme yang memang sengaja copy paste karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri). Karena ini adalah dunia kreatifitas, ... didalamnya ada proses penciptaan ... Kemiripan bisa terjadi karena "Feel" seorang designer bisa saja sedang mencapai tingkat chemistry yang hampir sama dengan designer lain dalam waktu bersamaan.

Selain itu, pengetahuan teknis juga sangat mempengaruhi. Contohnya, saya belajar membuat Serif dan Sans Serif dari buku Prof. Karen Cheng (Designing Type). Maka designer yang mempelajari buku yang sama akan mempunyai pengetahuan dasar yang sama dengan saya dalam membuat pola outline huruf "A" misalnya. Dari sini saja sekilas kita bisa menduga bahwa kita akan menghasilkan huruf "A" yang tidak jauh berbeda. Karena itu, orisinalitas bisa kita peroleh dalam proses kreatif mengubah bentuk kurva, aspek artistik, ukuran ketebalan stroke, tinggi, kemiringan stem, panjang ascender - descender, penerapan aspek pengetahuan kaligraphy, dan sebagainya. Sepanjang itu dibuat tanpa melihat karya orang lain, maka hasilnya bisa dijamin --- taruhlah 99% --- tidak akan sama dengan karya oprang lain. Alias orisinal.

Dibalik semua itu, bahkan sebetulnya kita boleh-boleh saja mengambil inspirasi (dan tentu saja menyebutkan sumbernya) dari karya yang sudah ada untuk menghasilkan karya "baru" yang "orisinal". Dengan catatan tidak mengambil mentah-mentah untuk diterbitkan dengan nama dan author berbeda (plagiat). .... Di Monotype Imaging (Linotype), salah satu pertanyaan pokok ketika proposal design diajukan adalah "dari mana sumber insprirasi karya kita dan siapa designer yang paling berpengaruh". Satu-satunya karya saya (saat ini) yang mengambil pola seperti ini adalah "timesquare" yang dibahas sebagai salah satu font orisinil di situs "fontmatters".

+++

Untuk font Serif dan Sanserif memang dibedakan --- salah satunya --- dari ketebalannya. Pada umumnya Sans Serif memiliki ketebalan seragam meski tidak harus. Ketebalan seragam biasa juga disebut slab. Sedangkan pada nfont serif, selain memiliki ciri khas "kait", juga dibuat dengan pendekatan kaligrafi dimana ketebalan stroke-nya tidak sama pada posisi vertical, horizontal dan diagonal.

Erga mengatakan...

1. Setuju, yang penting original
2. Saya beruntung dapet "Darimana sumber inspirasi & desainer yang mempengaruhi"
ini akan saya pake buat font debut saya
3. Selamat ya om buat originalitasnya yang diakui font matter. Kebetulan saya
lagi study sans serif. Time square emang asik. Nambah lagi deh referensi. haha
4. Time square ngambil estetika Helvetica, yang dibuat jadi font baru.
gak ekletik kaya coolvetica.